 Asal
 kota Cirebon ialah pada abad ke 14 di pantai utara Jawa Barat ada desa 
nelayan kecil yang bernama Muara Jati yang terletak di lereng bukit 
Amparan Jati. Muara Jati adalah pelabuhan nelayan kecil. Penguasa 
kerajaan Galuh yang ibu kotanya Rajagaluh menempatkan seorang sebagai 
pengurus pelabuhan atau syahbandar Ki Gedeng Tapa. Pelabuhan Muara Jati 
banyak di singgahi kapal-kapal dagang dari luar di antaranya kapal Cina 
yang datang untuk berniaga dengan penduduk setempat, yang di 
perdagangkannya adalah garam, hasil pertanian dan terasi.
Asal
 kota Cirebon ialah pada abad ke 14 di pantai utara Jawa Barat ada desa 
nelayan kecil yang bernama Muara Jati yang terletak di lereng bukit 
Amparan Jati. Muara Jati adalah pelabuhan nelayan kecil. Penguasa 
kerajaan Galuh yang ibu kotanya Rajagaluh menempatkan seorang sebagai 
pengurus pelabuhan atau syahbandar Ki Gedeng Tapa. Pelabuhan Muara Jati 
banyak di singgahi kapal-kapal dagang dari luar di antaranya kapal Cina 
yang datang untuk berniaga dengan penduduk setempat, yang di 
perdagangkannya adalah garam, hasil pertanian dan terasi.
Kemudian Ki Gendeng Alang-alang mendirikan sebuah pemukiman di 
lemahwungkuk yang letaknya kurang lebih 5 km, ke arah Selatan dari Muara
 Jati. Karena banyak saudagar dan pedangan asing juga dari 
daerah-daer5ah lain yang bermukim dan menetap maka daerah itu di namakan
 Caruban yang berarti campuran kemudian berganti Cerbon kemudian menjadi
 Cirebon hingga sekarang.
Raja Pajajaran Prabu Siliwanggi mengangkat Ki Gede Alang-alang 
sebagai kepala pemukiman baru ini dengan gelar Kuwu Cerbon. Daerahnya 
yang ada di bawah pengawasan Kuwu itu dibatasi oleh Kali Cipamali di 
sebelah Timur, Cigugur (Kuningan) di sebelah Selatan, pengunungan 
Kromong di sebelah Barat dan Junti (Indramayu) di sebelah Utara.
Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat kemudian digantikan oleh 
menantunya yang bernama Walangsungsang putra Prabu Siliwanggi dari 
Pajajaran. Walangsungsang ditunjuk dan diangkat sebagai Adipati Carbon 
dengan gelar Cakrabumi. Kewajibannya adalah membawa upeti kepada Raja di
 ibukota Rajagaluh yang berbentuk hasil bumi, akan tetapi setelah merasa
 kuat meniadakan pengiriman upeti, akibatnya Raja mengirim bala tentara,
 tetapi Cakrabumi berhasil mempertahankannya.
Kemudian Cakrabumi memproklamasikan kemerdekaannya dan mendirikan 
kerajaan Cirebon dengan mamakai gelar Cakrabuana. Karena Cakrabuana 
telah memeluk agama Islam dan pemerintahannya telah menandai mulainya 
kerajaan kerajaan Islam Cirebon, tetapi masih tetap ada hubungan dengan 
kerajaan Hindu Pajajaran.
Semenjak itu pelabuhan kecil Muara Jati menjadi besar, karena 
bertambahnya lalu lintas dari dan ke arah pedalaman, menjual hasil 
setempat sejauh daerah pedalaman Asia Tengara. Dari sinilah awal 
berangkat nama Cirebon hingga menjadi kota besar sampai sekarang ini.
Pangeran Cakra Buana kemudian membangun Keraton Pakungwati sekitar 
Tahun 1430 M, yang letaknya sekarang di dalam Komplek Keraton Kasepuhan 
Cirebon. 
Ringkasan.
Keraton Kasepuhan adalah keraton termegah dan paling terawat di Cirebon. Makna di setiap sudut arsitektur keraton ini pun terkenal paling bersejarah. Halaman depan keraton ini dikelilingi tembok bata merah dan terdapat pendopo didalamnya.
Keraton ini memiliki museum yang cukup lengkap dan berisi benda pusaka dan lukisan koleksi kerajaan. Salah satu koleksi yang dikeramatkan yaitu kereta Singa Barong. Kereta ini saat ini tidak lagi dipergunakan dan hanya dikeluarkan pada tiap 1 Syawal untuk dimandikan.
Bagian dalam keraton ini terdiri dari bangunan utama yang berwarna putih. Didalamnya terdapat ruang tamu, ruang tidur dan singgasana raja.
Keraton Kasepuhan didirikan pada tahun 1529 oleh [[Pangeran Mas Mochammad Arifin II] (cicit
 dari Sunan Gunung Jati) yang menggantikan tahta dari Sunan Gunung Jati 
pada tahun 1506. Ia bersemayam di dalem Agung Pakungwati Cirebon. 
Keraton Kasepuhan dulunya bernama Keraton Pakungwati, sedangkan Pangeran Mas Mochammad Arifin bergelar Panembahan Pakungwati I.
 Sebutan Pakungwati berasal dari nama Ratu Dewi Pakungwati binti 
Pangeran Cakrabuana yang menikah dengan Sunan Gunung Jati. Ia wafat pada
 tahun 1549 dalam Mesjid Agung Sang Cipta Rasa 
dalam usia yang sangat tua. Nama beliau diabadikan dan dimuliakan oleh 
nasab Sunan Gunung Jati sebagai nama Keraton yaitu Keraton Pakungwati 
yang sekarang bernama Keraton Kasepuhan.
Di depan Keraton Kesepuhan terdapat alun-alun yang pada waktu zaman 
dahulu bernama Alun-alun Sangkala Buana yang merupakan tempat latihan 
keprajuritan yang diadakan pada hari Sabtu atau istilahnya pada waktu 
itu adalah Saptonan. Dan di alun-alun inilah dahulunya dilaksanakan 
berbagai macam hukuman terhadap setiap rakyat yang melanggar peraturan 
seperti hukuman cambuk. Di sebelah barat 
Keraton kasepuhan terdapat Masjid yang cukup megah hasil karya dari para
 wali yaitu Masjid Agung Sang Cipta Rasa.
Sedangkan di sebelah timur alun-alun dahulunya adalah tempat perekonomian yaitu pasar — sekarang adalah pasar kesepuhan yang sangat terkenal dengan pocinya.
 Model bentuk Keraton yang menghadap utara dengan bangunan Masjid di 
sebelah barat dan pasar di sebelah timur dan alun-alun ditengahnya 
merupakan model-model Keraton pada masa itu terutama yang terletak di 
daerah pesisir. Bahkan sampai sekarang, model 
ini banyak diikuti oleh seluruh kabupaten/kota terutama di Jawa yaitu di
 depan gedung pemerintahan terdapat alun-alun dan di sebelah baratnya 
terdapat masjid.
Sebelum memasuki gerbang komplek Keraton Kasepuhan terdapat dua buah pendopo, di sebelah barat disebut Pancaratna yang dahulunya merupakan tempat berkumpulnya para punggawa Keraton, lurah atau pada zaman sekarang disebut pamong praja. Sedangkan pendopo sebelah timur disebut Pancaniti yang merupakan tempat para perwira keraton ketika diadakannya latihan keprajuritan di alun-alun.
Memasuki jalan kompleks Keraton di sebelah kiri terdapat bangunan yang cukup tinggi dengan tembok bata kokoh disekelilingnya. Bangunan ini bernama Siti Inggil atau dalam bahasa Cirebon sehari-harinya adalah lemah duwur
 yaitu tanah yang tinggi. Sesuai dengan namanya bangunan ini memang 
tinggi dan nampak seperti kompleks candi pada zaman Majapahit. Bangunan 
ini didirikan pada tahun 1529, pada masa pemerintahan Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).
Di pelataran depan Siti Inggil terdapat meja batu berbentuk segi 
empat tempat bersantai. Bangunan ini merupakan bangunan tambahan yang 
dibuat pada tahun 1800-an. Siti Inggil memiliki dua gapura dengan motif 
bentar bergaya arsitek zaman Majapahit. Di sebelah utara bernama Gapura Adi sedangkan di sebelah selatan bernama Gapura Banteng. Dibawah Gapura Banteng ini terdapat Candra Sakala dengan tulisan Kuta Bata Tinata Banteng yang jika diartikan adalah tahun 1451.
saka yang merupakan tahun pembuatannya (1451 saka = 1529 M). Tembok 
bagian utara komplek Siti Inggil masih asli sedangkan sebelah selatan 
sudah pernah mengalami pemugaran/renovasi. Di dinding tembok kompleks 
Siti Inggil terdapat piring-piring dan porslen-porslen yang berasal dari
 Eropa dan negeri Cina dengan tahun pembuatan 1745 M. Di dalam kompleks 
Siti Inggil terdapat 5 bangunan tanpa dinding yang memiliki nama dan 
fungsi tersendiri. Bangunan utama yang terletak di tengah bernama Malang
 Semirang dengan jumlah tiang utama 6 buah yang melambangkan rukun iman 
dan jika dijumlahkan keseluruhan tiangnya berjumlah 20 buah yang 
melambangkan 20 sifat-sifat Allah SWT. Bangunan ini merupakan tempat 
sultan melihat latihan keprajuritan atau melihat pelaksanaan hukuman. 
Bangunan di sebelah kiri bangunan utama bernama Pendawa Lima dengan 
jumlah tiang penyangga 5 buah yang melambangkan rukun islam. Bangunan 
ini tempat para pengawal pribadi sultan.Bangunan di sebelah kanan 
bangunan utama bernama Semar Tinandu dengan 2 buah tiang yang 
melambangkan Dua Kalimat Syahadat. Bangunan ini adalah tempat penasehat 
Sultan/Penghulu. Di belakang bangunan utama bernama Mande Pangiring yang
 merupakan tempat para pengiring Sultan, sedangkan bangunan disebelah 
mande pangiring adalah Mande Karasemen, tempat ini merupakan tempat 
pengiring tetabuhan/gamelan. Di bangunan inilah sampai sekarang masih 
digunakan untuk membunyikan Gamelan Sekaten (Gong Sekati), gamelan ini 
hanya dibunyikan 2 kali dalam setahun yaitu pada saat Idul Fitri dan 
Idul Adha. Selain 5 bangunan tanpa dinding terdapat juga semacam tugu 
batu yang bernama Lingga Yoni yang merupakan lambing dari kesuburan. 
Lingga berarti laki-laki dan Yoni berarti perempuan. Bangunan ini 
berasal dari budaya Hindu. Dan di atas tembok sekeliling kompleks Siti 
Inggil ini terdapat Candi Laras untuk penyelaras dari kompleks Siti 
Inggil ini.
Keraton Kasepuhan Cirebon.




KERATON KASEPUHAN yang terletak di Kelurahan Kasepuhan, Kecamatan
 Lemahwungkuk, Kota Cirebon merupakan keraton yang pertama sekali 
didirikan sekitar abad ke 13. Sebagai pusat pemerintahan Kesultanan 
Cirebon pada masa itu.
Sebagai Keraton Kesultanan Cirebon yang pertama, Keraton Kasepuhan 
memiliki sejarah yang paling panjang dibanding ketiga keraton lainnya. 
Keraton ini juga memiliki wilayah kekeratonan yang terluas, wilayah 
kekeratonannya mencapai lebih dari 10 Ha. Keraton ini terletak di 
selatan alun-alun dengan Masjid Agung Sang Cipta Rasa di sebelah barat 
alun-alun.
Pada masa awal didirikannya yang pertama kali dibangun adalah 
bangunan Keraton Pakungwati I. Keraton Pakungwati dibangun menghadap ke 
arah Laut Jawa dan membelakangi Gunung Ciremai.  Bangunan ini terdapat 
disebelah timur bangunan Keraton Pakungwati II.
Banyak sejarah penting yang tersimpan di dalam keraton ini, serta 
benda peninggalan yang terdapat didalamnya seperti: sebuah tandu 
berbentuk makhluk berkepala burung dan berbadan ikan. Hal ini 
melambangkan “Setinggi-tingginya seorang pemimpin dalam kepemimpinannya 
tetap harus mampu melihat dan menyelami keadaan setiap rakyat yang 
berada dibawahnya”.
Rentetan perjalanan panjang dalam membangun sebuah pemerintahan pada 
masa itu. Keraton Kasepuhan sebagai keraton yang pertama ada di Cirebon.
 Hal ini menunjukan betapa besar peran serta pengaruh budaya Cirebon 
dalam membangun ekonomi pada masa pemerintahan Kesultanan saat itu.
Keraton Kasepuhan memang saat ini tidak lagi memegang dan menjalankan tampuk pemerintahan di Cirebon
seperti pada masa Kesultanan. Namun sebagai peninggalan budaya, Keraton Kasepuhan memiliki arti dan peran yang sangat penting dalam perjalanan panjangnya membangun budaya dan ekonomi Cirebon.
seperti pada masa Kesultanan. Namun sebagai peninggalan budaya, Keraton Kasepuhan memiliki arti dan peran yang sangat penting dalam perjalanan panjangnya membangun budaya dan ekonomi Cirebon.
Keraton Kanoman – Cirebon
Keraton Kanoman merupakan pusat peradaban Kesultanan di Cirebon, yang kemudian terpecah menjadi Keraton Kanoman, Keraton Kasepuhan, Keraton Kacirebonan, dan Keraton Keprabon.
Kebesaran Islam di Jawa Barat tidak lepas dari Cirebon. Sunan Gunung 
Jati adalah orang yang bertanggung Jawab menyebarkan agama Islam di Jawa
 Barat, sehingga berbicara tentang Cirebon tidak akan lepas dari sosok 
Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
Sunan Gunung Jati juga meninggalkan jejaknya yang hingga kini masih 
berdiri tegak, jejak itu bernama Kraton Kanoman. Keraton Kanoman masih 
taat memegang adat-istiadat dan pepakem, di antaranya melaksanakan 
tradisi Grebeg Syawal,seminggu setelah Idul Fitri dan berziarah ke makam
 leluhur, Sunan Gunung Jati di Desa Astana, Cirebon Utara. 
Peninggalan-peninggalan bersejarah di Keraton Kanoman erat kaitannya 
dengan syiar agama Islam yang giat dilakukan Sunan Gunung Jati, yang 
juga dikenal dengan Syarif Hidayatullah.
Kompleks Keraton Kanoman yang mempunyai luas sekitar 6 hektar ini 
berlokasi di belakang pasar Di Kraton ini tinggal sultan ke dua belas 
yang bernama raja Muhammad Emiruddin berserta keluarga. Kraton Kanoman 
merupakan komplek yang luas, yang terdiri dari dua puluh tujuh bangunan 
kuno. salah satunya saung yang bernama bangsal witana yang merupakan 
cikal bakal Kraton yang luasnya hampir lima kali lapangan sepakbola.
Di keraton ini masih terdapat barang barang Sunan Gunung Jati, 
seperti dua kereta bernama Paksi Naga Liman dan Jempana yang masih 
terawat baik dan tersimpan di museum. Bentuknya burak, yakni hewan yang 
dikendarai Nabi Muhammad ketika ia Isra Mi’raj. Tidak jauh dari kereta, 
terdapat bangsal Jinem, atau Pendopo untuk Menerima tamu, penobatan 
sultan dan pemberian restu sebuah acara seperti Maulid Nabi. Dan di 
bagian tengah Kraton terdapat komplek bangunan bangunan bernama Siti 
Hinggil.
Hal yang menarik dari Keraton di Cirebon adalah adanya piring-piring 
porselen asli Tiongkok yang menjadi penghias dinding semua keraton di 
Cirebon. Tak cuma di keraton, piring-piring keramik itu bertebaran 
hampir di seluruh situs bersejarah di Cirebon. Dan yang tidak kalah 
penting dari Keraton di Cirebon adalah keraton selalu menghadap ke 
utara. Dan di halamannya ada patung macan sebagai lambang Prabu 
Siliwangi. Di depan keraton selalu ada alun alun untuk rakyat berkumpul 
dan pasar sebagai pusat perekonomian, di sebelah timur keraton selalu 
ada masjid.
Menengok Koleksi Keraton Kanoman Cirebon.

Keraton Kanoman, disebut juga Kesultanan Kanoman, yang menjadi tujuan
 pertama di pagi hari pada penggal awal Mei lalu ternyata terletak 
tersembunyi di balik keramaian pasar. Memerlukan energi berlebih untuk 
mencapai tujuan sejak para penjual jambu biji asal Desa Pagartoya yang 
menjajakan dagangan di depan Vihara Pancar Keselamatan, menunjukkan arah
 menuju keraton. Maklum, kendaraan harus membelah kerumunan penjual 
sayur-sayuran dan buah-buahan yang meluap hingga ke badan jalan. Nyaris 
tak bisa jalan kalau tidak ada bantuan dari petugas parkir pasar.
Keraguan menyergap ketika mulai memasuki kawasan keraton. Lengang, 
sepi. Di bagian luar, bangunan-bangunan seperti pagar yang menjadi 
pembatas kawasan keraton, pintu gerbang, hingga bangsal paseban, tampak tak terawat. Rerumputan tumbuh meninggi di beberapa tempat di halaman.
Tak terbayangkan tempat itu menyimpan sejarah panjang tentang 
kepahlawanan, juga syiar Islam, jika tidak menatap baik-baik bangunan 
utama. Memang tidak sebesar bangunan-bangunan di Keraton Yogyakarta, 
atau Surakarta, namun masih memancarkan kharisma tersendiri. Pagi itu, 
di Bangsal Jinem, tempat yang dulu acap dipakai petinggi keraton 
menerima tamu penting, sedang ada acara keluarga.
Rasa penasaran menggiring langkah merambahi halamannya yang teduh. 
Memang tampak keistimewaan jika mengamati lebih teliti bangunan-bangunan
 pagar maupun pintu gerbangnya. Pagar tembok maupun gerbangnya 
berhiaskan piring-piring porselen yang cantik. Porselin-porselen asli 
dari Negeri Tiongkok, kata Muhammad Rais (70), Lurah Kesultanan Kanoman,
 pemandu tamu.
Daya tarik utama Keraton Kanoman baru bisa dinikmati ketika memasuki 
museum yang terletak di sisi kanan bangunan utama. Di bangunan yang 
tidak terlalu besar itu tersimpan peninggalan-peninggalan keraton, mulai
 dari kereta kerajaan, peralatan rumah tangga, hingga senjata kerajaan.

Beberapa koleksi tampak tidak utuh. Perhatian langsung tertuju kepada
 jajaran kereta. Paling menonjol adalah kereta Paksi Naga Liman. Kereta 
itu, seperti tertera dalam keterangan, dibuat dari kayu sawo pada tahun 
1350 Saka atau tahun 1428 Masehi oleh Pangeran Losari. Rais menyebutnya 
sebagai kereta kebesaran Sunan Gunung Jati, leluhur Kesultanan Cirebon, 
yang memerintah 1479 – 1568.
Pemberian nama itu berkaitan dengan pahatan kayu di bagian depan yang menggambarkan gabungan bentuk paksi (burung), naga, dan liman
 (gajah) memegang senjata. Paduan bentuk itu melambangkan persatuan tiga
 unsur kekuatan di darat, laut, udara, menyimbolkan keutuhan wilayah.
Keistimewaannya terletak pada bagian sayap patung yang bisa 
membuka-menutup saat sedang berjalan, juga bentuk rodanya yang berbeda 
dengan roda pedati biasa. Roda kereta dibuat cekung ke dalam. Rais 
menjelaskan, konstruksi roda seperti itu sangat berguna jika melewati 
jalanan berlumpur yang basah. Kotoran tidak akan menciprat mengotori 
penumpangnya.
Kereta yang lain adalah Jempana, kereta kebesaran untuk permaisuri 
dengan hiasan bermotif batik Cirebon. Kereta berbahan kayu sawo itu juga
 dirancang dan dibuat atas arahan Pangeran Losari pada tahun yang sama.
Nilai kebesarannya langsung terbayangkan ketika Rais menceritakan 
kereta-kereta itu dulunya ditarik enam ekor kuda. Dengan bangga pula ia 
menceritakan seorang insinyur Eropa pernah secara khusus mempelajari 
konstruksi roda kereta-kereta kesultanan itu.
Kereta-kereta itu menempati bagian tengah ruangan. Bagian pinggir 
museum dipenuhi koleksi yang lain. Di antaranya koleksi wayang golek 
papak, kursi pengantin, gamelan, meja tulis lengkap dengan perlengkapan 
menulis daun lontar dan ijuk aren yang berfungsi sebagai alat menulis, 
kotak-kotak termasuk kotak dari Mesir. Di salah satu sudut, bisa dilihat
 koleksi senjata, mulai dari aneka pedang lokal dan pedang Eropa, keris,
 senjata api, aneka perisai, dan meriam.
Hasil penelusuran sejarah menyebutkan Keraton Kanoman adalah pusat 
peradaban Kesultanan Cirebon, yang kemudian terpecah menjadi Keraton 
Kanoman, Keraton Kasepuhan, Keraton Kacirebonan, dan Keraton Keprabon. 
Keraton Kanoman masih taat memegang adat-istiadat dan pepakem, 
di antaranya melaksanakan tradisi Grebeg Syawal, seminggu setelah Idul 
Fitri dan berziarah ke makam leluhur, Sunan Gunung Jati di Desa Astana, 
Cirebon Utara.
Peninggalan-peninggalan bersejarah di Keraton Kanoman erat kaitannya 
dengan syiar agama Islam yang giat dilakukan Sunan Gunung Jati, yang 
juga dikenal dengan Syarif Hidayatullah. Peninggalan sejarah kejayaan 
Islam masa lampau juga bisa ditemui di Tamansari Gua Sunyaragi, yang 
menjadi penutup acara berkeliling Kota Cirebon.
Kompleks bangunan yang didirikan pada 1852 di areal seluas 1,5 
hektare itu, dulu merupakan tempat peristirahatan dan tempat menyepi 
Sultan Kasepuhan dan kerabatnya. Letaknya di Kelurahan Sunyaragi, 5 km 
sebelah barat pusat kota.
Banyak yang bisa dilihat, banyak yang bisa dipelajari. Sayang, bahkan
 pada hari Minggu pun peninggalan budaya leluhur itu sepi pengunjung
Keraton Kacirebonan.

Keraton Kecirebonan dibangun pada tanggal 1800, Keraton ini banyak 
menyimpan benda-benda peninggalan sejarah seperti Keris Wayang 
perlengkapan Perang, Gamelan dan lain-lain.
Seperti halnya Keraton Kesepuhan dan Keraton Kanoman, Keraton 
Kecirebonan pun tetap menjaga, melestarikan serta melaksanakan kebiasaan
 dan upacara adat seperti Upacara Pajang Jimat dan sebagainya.
SILSILAH SULTAN KERATON KECERIBONAN
1. Pangeran Pasarean
2. Pangeran di Jati Carbon
3. Panembahan Ratu Pangeran di Pati Anom Carbon
4. Pangeran di Pati Anom Carbon
5. Panembahan Girilaya
6. Sultan Moh Badridini Kanoman
7. Sultan Anom Raja Mandurareja Kanoman
8. Sultan Anom Alimudin
9. Sultan Anom Moh Kaerudin
10. Sultan Carbon Kaeribonan
11. Pangeran Raja Madenda
12. Pangeran Raja Denda Wijaya
13. Pangeran Raharja Madenda
14. Pangeran Raja Madenda
15. Pangeran Sidek Arjaningrat
16. Pangeran Harkat Nata Diningrat
17. Pangeran Moh Mulyono Ami Natadiningrat
18. KGPH Abdulgani Nata Diningrat Dekarangga
2. Pangeran di Jati Carbon
3. Panembahan Ratu Pangeran di Pati Anom Carbon
4. Pangeran di Pati Anom Carbon
5. Panembahan Girilaya
6. Sultan Moh Badridini Kanoman
7. Sultan Anom Raja Mandurareja Kanoman
8. Sultan Anom Alimudin
9. Sultan Anom Moh Kaerudin
10. Sultan Carbon Kaeribonan
11. Pangeran Raja Madenda
12. Pangeran Raja Denda Wijaya
13. Pangeran Raharja Madenda
14. Pangeran Raja Madenda
15. Pangeran Sidek Arjaningrat
16. Pangeran Harkat Nata Diningrat
17. Pangeran Moh Mulyono Ami Natadiningrat
18. KGPH Abdulgani Nata Diningrat Dekarangga
Gua Sunyaragi Cirebon.
Lebih kurang 5 Km ke arah barat dari jantung kota Cirebon, tepatnya 
dikelurahan Graksan, terhampar bangunan yang unik. Areal bangunan ini 
dikenal sebagai Tamansari Gua Sunyaragi. Petilasan dengan arsitektur 
estetik bernilai historis, serta mengungkap nilai-nilai spritual yang 
merupakan salah satu warisan budaya masa lalu yang terdapat di wilayah 
Cirebon, Pembangunannya dilakukan pada tahun 1703, sedangkan gagasannya 
berasal dari benak Sang Patih Keraton Kasepuhan yang bernama Pangeran 
Arya Cirebon. Tokoh ini dikenal sebagai peminta sejarah dan kebudayaan. 
Karya legendaris lainnya yaitu kitab sejarah “Purwaka Caruban” yang 
berhasil disusunnya pada tahun 1720. Sunya berarti sepi, dan Raga atau 
Ragi berarti jasmani.

Taman Gua Sunyaragi ini sebenarnya merupakan komplek bangunan kuno 
yang apabila dibagi-bagi akan terdapat 12 bangunan inti terdiri dari 
satu bangunan tambahan yaitu :
1. Gua Pengawal2. Gua Pande Kemasan
3. Gua Simayang
4. Bangsal Jinem
5. Gua Pawon
6. Mande Beling
7. Gua Lawa
8. Gua Padang Ati
9. Gua Kelanggengan
10. Gua Peteng
11. Bale Kambang
12. Gua Arga Jumut
Taman Wisata Sakral di Kota Cirebon.
Tempat Penyebaran Agama Islam dan Gua Pertapaan
Kereta Kencana Singa Barong milik Sunan Gunung Jati. Kereta hias, 
dulunya dipakai sebagai kendaraan Sunan. Ornamen Kereta Kencana penuh 
dengan perpaduan budaya, Jawa Kuno, Tiongkok, India, dan Mesir. Kereta 
Kencana Singa Barong ini juga menjadi simbol persahabatan.
Dulu, sebuah istana megah bernama Keraton Kasepuhan, kediaman
 Raja Sunan Gunung Jati atau Syekh Syarief Hidayat berdiri kokoh di atas
 tanah seluas 185.500 meter persegi. Keraton Kasepuhan yang terletak di 
Cirebon, Jawa Barat ini pernah menjadi tempat sakral bagi masyarakat 
sekitar. Dari keraton inilah penyebaran agama Islam bermula.
Kini, istana megah itu tak ubahnya seperti rerun- tuhan bebatuan. 
Sebagian besar ruangan di Keraton Kasepuhan tidak berbentuk lagi. Hanya 
tumpukan batu bata merah dan bebatuan yang ada di keraton ini. Kabarnya,
 untuk merenovasi Keraton Kasepuhan dibutuhkan biaya sekitar Rp 50 juta 
per bulan.
Sayangnya, biaya renovasi tidak mampu diberikan Pemerintah Kota 
(Pemkot) Cirebon. Kepala Unit Pelaksana Teknis Pusat Informasi 
Pariwisata, Yatna Supriyatna menuturkan, dana cagar budaya untuk Kota 
Cirebon hanya Rp 70 juta per bulan. Dana digunakan untuk semua tempat 
bersejarah di Cirebon. Jadi, tidak mungkin bila Rp 50 juta diberikan 
khusus untuk renovasi Keraton Kasepuhan saja.
“Keraton Kasepuhan memang tempat bersejarah utama di Kota Cirebon. 
Namun, kami belum mampu melakukan renovasi total. Dananya belum cukup,” 
ujar Yatna saat ditemui di Keraton Kasepuhan, Cirebon, Jawa Barat, pada 
14 Oktober lalu.
Keraton Kasepuhan, adalah sebuah tempat bersejarah di Kota Cirebon. 
Dari Jakarta, kota kecil ini hanya berjarak tiga jam perjalanan dengan 
kereta api. Sementara itu, bila menggunakan mobil dari Jakarta-Cirebon 
sekitar empat-lima jam. Cirebon juga kaya ragam budaya, karena menjadi 
persimpangan lalu lintas niaga. Letak Cirebon persis berada di 
perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Sedangkan untuk sampai ke Keraton Kasepuhan, dari terminal Harjamukti
 membutuhkan waktu 20 menit menggunakan becak. Pilihan lainnya, bisa 
menggunakan becak dari stasiun Kejaksaan ke arah selatan selama 30 menit
 saja.
Masuk ke wilayah Keraton Kasepuhan, para wisatawan lokal dan 
mancanegara harus membayar uang masuk Rp 3.000 per orang. Keraton dibuka
 untuk umum mulai pukul 08.00-16.00 WIB. Setiap wisatawan mendapat 
seorang pemandu, yang sehari-hari bertugas sebagai abdi dalem keraton.
Keraton yang dikenal paling tua di Cirebon ini, awalnya bukan bernama
 Keraton Kasepuhan. Asal usul nama Keraton Kasepuhan terbilang panjang. 
Bangunan yang terletak di Kelurahan Kasepuhan, Kecamatan Lemahwungkuk, 
dibangun oleh Pangeran Cakrabuwana, yakni putra mahkota Pajajaran. 
Keraton berdiri pada abad ke-15 atau tahun 1430. Keraton kemudian 
diserahkan kepada putrinya, Ratu Ayu Pakungwati. Mulanya, keraton diberi
 nama Keraton Pakungwati atau Dalem Agung Pakungwati.
Pakungwati kemudian menikah dengan sepupunya, Sunan Gunung Jati. 
Kehadiran Sunan Gunung Jati ternyata membawa sejarah baru di Jawa Barat.
 Nama Keraton Pakungwati berganti menjadi Keraton Kasepuhan. Pergantian 
nama dikarenakan sebutan Pakungwati dimuliakan. Sedangkan, nama Keraton 
Kasepuhan artinya tempat sepuh atau paling tua di Cirebon.
Kondisi Keraton Kasepuhan sekarang, memang sesuai dengan namanya. 
Bangunan tua itu tampak rapuh. Saat masuk ke pelataran Keraton 
Kasepuhan, jangan berharap bisa melihat kemewahan atau kemegahan sebuah 
istana. Kediaman para raja dan putri ini tak ubahnya seperti bangunan 
tua bersejarah, yang hanya menyimpan kenangan saja.
Memasuki pelataran keraton, terdapat podium bernama Siti Inggil yang 
berarti tanah tinggi. Siti Inggil dikelilingi tembok bata merah berupa 
Candi Bentar. Bentuk dari Siti Inggil memiliki makna spritual. Semisal, 
terdapat 20 tiang dalam Siti Inggil yang melambangkan 20 sifat Tuhan.
Dulu, Siti Inggil dipakai oleh Sunan Gunung Jati untuk melihat 
pertandingan. Dalam bangunan tersebut, Sunan juga kerap menggelar sidang
 bagi warga yang melanggar aturan. Sidang bisa langsung dilihat oleh 
seluruh warga Cirebon.
Keraton Kasepuhan memiliki banyak bagian, di antaranya Jinem 
Pangrawit tempat Sunan bertemu dengan tamu kehormatannya. Jinem 
Pangrawit terbagi dua bagian, yakni ruang tamu untuk para menteri dan 
bupati. Ruang tamu di desain unik. Corak budaya Jawa tidak tampak di 
ruangan tersebut. Jinem Pangrawit dipenuhi dengan hamparan keramik dan 
porselin dari Portugis, Tiongkok, dan Belanda.
Sunan Syekh Syarief, konon sangat mencintai perpaduan budaya 
Tiongkok, Portugis, India, dan Jawa. Jadi, semua barang-barang dan 
peralatan di Keraton Kasepuhan banyak bersentuhan dengan tiga negara 
tersebut. Keramik Tiongkok yang ada di Keraton, adalah hadiah dari 
kaisar Tiongkok kepada Sunan. Hadiah diterima saat Sunan menikah dengan 
putri kaisar bernama Tan Hong Tien Nio.
Keramik dan porselin dari Tiongkok ada sejak abad ke-15, sementara 
keramik dari Belanda baru ada pada abad ke-17. Kecintaan Sunan terhadap 
keramik dan porselin memang sangat besar. Terbukti, dinding dan lantai 
di ruang Jinem Pangrawit dipenuhi dengan keramik.
Sebuah ruang tamu di Keraton Kasepuhan bernama Jinem Pangrawit. Ruang
 tamu dipakai untuk menerima tamu kehormatan, yakni bupati dan para 
Menteri.

Pemisahan
Pada masa pemerintahan Sunan Syeh Syarief, juga diterapkan aturan 
yang tegas mengenai lelaki dan perempuan. Keraton atau tempat kediaman 
untuk perempuan tidak boleh bercampur dengan lelaki. Bahkan, di dalam 
area keraton terdapat satu tempat khusus yang tidak boleh dikunjungi 
kaum perempuan, termasuk istri Sunan sekalipun.
Tempat khusus dan sakral itu bernama Patilasan Pangeran Cakrabuwana 
Sunan Gunung Jati. Pada pintu masuk patilasan, jelas tertulis Wanita 
tidak boleh masuk. Dalam tempat ini, Syekh Syarief dan putra mahkota 
menyebarkan ajaran agama Islam kepada semua lelaki yang tinggal di 
keraton.
Konon, Patilasan Pangeran Cakrabuwana ini memang tidak boleh 
tersentuh oleh kaki perempuan. Apabila ada perempuan yang berani masuk, 
maka ia keluar membawa petaka. Bisa-bisa, perempuan tersebut gila atau 
hilang kesadaran.
“Dulu sempat seorang pengunjung wanita masuk ke dalam keraton 
Patilasan Cakrabuwana. Tidak lama, wanita itu hilang kesadaran. Jadi, 
sampai sekarang kami melarang pengunjung wanita masuk ke tempat sakral 
tersebut,” ujar abdi dalam keraton Ferry Jamaladdin.
Di bagian kanan Patilasan Cakrabuwana terdapat Patilasan Keraton 
Dalem Agung Pakungwati. Tempat tersebut dibangun khusus bagi permaisuri,
 dayang-dayang, dan kaum perempuan. Dulunya, keraton Pakungwati ini 
sangat asri dan indah. Konon para putri Sunan dan permaisuri memiliki 
ruang pemandian yang besar. Permaisuri dan putri bisa menghabiskan waktu
 berjam-jam untuk berendam dan mempercantik diri.
Sayangnya, keraton Pakungwati kini tak ubahnya seperti ruang kosong 
yang penuh dengan reruntuhan bebatuan. Tidak ada tanda-tanda 
pemeliharaan dari pemerintah daerah atas tempat bersejarah ini. Kamar 
sang permaisuri dan tempat pemandian pun tinggal puing-puing.
Bila dilihat dari kondisi keraton Kasepuhan, memang tidak jelas 
terbaca makna atau nilai sejarahnya. Namun, saat melihat ke dalam tempat
 penyimpanan benda-benda bersejarah barulah terasa. Ternyata, Sunan 
gemar mengoleksi benda berharga. Di area keraton, terdapat dua museum, 
yakni Museum Benda Kuno dan Museum Kereta Kencana Singa Barong.
Museum Benda Kuno, diisi oleh barang-barang pemberian dari kerabat 
Sunan. Keris berbagai jenis dan alat debus dari Banten, masih tersimpan 
di museum ini. Alat musik gamelan yang dulu dipakai oleh para penghibur 
Sunan juga masih tertata rapi.
Berbeda dengan Museum Benda Kuno, Museum Kereta Kencana Singa Barong 
diisi dengan benda-benda milik keluarga Sunan. Kereta Kencana Singa 
Barong menjadi peninggalan paling berharga di keraton tersebut. Kereta 
yang dibuat tahun 1549, oleh cucu Sunan, yakni Pangeran Mas Mohammad 
Arifin. Konon kereta tersebut dipakai saat kunjungan resmi.
Ornamen hias pada kereta sangat unik. Terdapat tiga perpaduan budaya 
pada kereta, yaitu Tiongkok, India, dan Mesir. Ornamen perpaduan budaya 
dapat dilihat dari belalai gajah yang melambangkan negara India, kepala 
naga artinya persahabatan dengan Tiongkok, dan badan Buroq yang berarti 
bersahabat dengan mesir.
Kereta Kencana Singa Barong, kini hanya boleh dinikmati lewat 
pandangan mata saja. Kereta hias resmi pensiun sejak tahun 1942. Kereta 
ini hanya boleh dikeluarkan setiap 1 Syawal, untuk dimandikan.
Masih berkaitan dengan Keraton Kasepuhan, terdapat sebuah taman air 
nan indah yang terletak di Barat Daya Keraton. Taman air tersebut 
bernama Taman Gua Sunyaragi. Taman, berdasarkan manuskrip Purwaka Caruban Nagari,
 didirikan oleh Pangeran Kararangan bergelar Arya Caruban, pada 1703. 
Konon pembangunan gua diteruskan oleh putra-putra Pangeran Arya, yakni 
Pangeran Carbon Martawijaya dan Pangeran Carbon Adiwijaya.
Taman Gua Sunyaragi tak ubahnya seperti gua-gua besar dipenuhi dengan
 lorong-lorong sempit. Lorong-lorong, dulunya dipakai sebagai tempat 
bertapa atau sekadar mencari ketenangan jiwa. Ditambah lagi, suasana di 
taman memang sepi karena jauh dari rumah masyarakat.
Taman Sunyaragi juga menjadi sumber pengairan utama atau irigasi ke 
Keraton Kasepuhan. Bahkan, dalam taman Sunyaragi terdapat sebuah lorong 
bawah tanah menuju keraton. Dilihat dari gaya, corak, dan motif-motif 
ragam rias dari pola-pola bangunan, bisa disimpulkan gaya arsitektur gua
 Sunyaragi merupakan perpaduan gaya Indonesia klasik atau Hindu, gaya 
Tiongkok kuno, gaya Timur Tengah atau Islam, dan gaya Eropa.
Sayangnya, keindahan Taman Gua Sunyaragi mulai pudar sejak pengelolaan diserahkan kepada pemerintah.
 
 

 



 
0 komentar:
Posting Komentar